Pengikut
Senin, 30 Maret 2020
Kentongan
KENTONGAN
Akibat wabah suasana desaku sudah tiga bulan ini sepi. Interaksi antar warga berubah sama sekali. Pergi ke tetangga dan duduk ngobrol tidak berani. Bisa ditangkap polisi. Bercengkerama antar tetangga amat langka. Semua mesti tinggal di rumah. Namun, tinggal di rumah sekian lama membuat sebagian warga mengalami stress dan resah. Apalagi pemerintah menerapkan karantina wilayah.
Sejak sebulan terakhir listrik padam karena krisis energi. Sebagian ponsel berhenti berfungsi karena tidak bisa "dicharge" lagi. Komunikasi antar tetangga nyaris terhenti. Malam lebih terasa mencekam. Setiap kali suara sirine ambulans memasuki desa bulu roma warga berdiri. Berarti ada yang mati lagi. Namun mereka tidak berani keluar rumah. Takut terpapar. Berkembang rumor. Siapa yang mendengar tangisan melonglong perempuan yang lewat di lorong desa pada tengah malam, anggota keluarganya bakal dijemput malaikat maut.
Toa mesjid tak lagi mengumumkan warga yang meninggal. Pengumuman dikirim lewat suara kentongan. Pukulan tujuh kali berarti ada warga yang mati. Itu sudah berulangkali terjadi hingga dini hari menjelang hari keseratus tigabelas. Bunyi kentongan. Tidak dipukul tujuh kali, tapi sembilan kali. Pertanda penduduk diundang berkumpul. Semua warga penuh tanya. Tapi takut keluar rumah. Tatkala temaram mentari memecah gelap warga bisa saling melihat lewat jendela. Mereka pun kompak memutuskan keluar rumah dan berkumpul di sekitar kentongan yang terletak di pendopo balai desa. Di sana pak kepala desa tampak duduk bersama perangkat desanya. Dia mengumumkan bahwa pandemi telah berhasil diatasi. Seluruh wilayah negeri bebas dari wabah. Warga boleh kembali hidup normal lagi. Wajah cerah membuncah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar