Pengikut

Senin, 30 Maret 2020

Anak Catur

ANAK CATUR

Tak biasanya malam ini Tumini merasakan kantuk yang teramat berat. Masuk shift malam di kantin pabrik tekstil bukanlah hal yang mudah untuk perempuan ringkih sepertinya. Ingin rasanya dia membolos, namun bayangan akan dipotongnya gaji bila dia alpa, terus membuatnya memaksakan matanya untuk melek.

Pukul 03.00 setelah para karyawan selesai makan, Tumini dan teman-temannya bergegas merapikan tempat. Diseretnya polybag hitam besar berisi sampah sisa masakan dan bungkus- bungkus plastik menuju tong sampah besar agar besok pagi bisa diangkut petugas sampah. Duuh, mana lorong itu banyak pria main catur pula. Dan dia tak punya jalan alternatif lain selain melewati kerumunan itu. "Permisi Pak..." Sapanya sesopan mungkin. Namun klothak! Beberapa anak catur ambruk tersenggol polybag yang dibawa Tumini. Mati aku, pikirnya.

"Hei, goblok! Jalan nggak pake mata!" teriak seorang pria. Tumini terkejut. Dengan takut dia menghentikan langkah lalu menoleh untuk bersiap minta maaf. Ya Tuhan! Mana orang-orang tadi? Lorong ini begitu sepi senyap. Bekas-bekas mereka main catur pun tak ada sama sekali. Lalu siapa yang meneriakinya tadi? Mendadak lutut Tumini lemas tanpa daya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar