Pengikut

Selasa, 22 September 2020

Antara ada dan tiada

 Baca baik2....

Kami yang awam ini bukan tak percaya adanya virus corona, jangankan virus yang masih se-alam,  sama-sama alam fisika, malaikat dengan jin yang beda alam pun kami percaya, padahal alam mereka metafisika.


Sehalus-halusnya virus masih ada mikroskop untuk meneliti, tapi jin dan malaikat belum ada alat untuk deteksi selain kemenyan dengan jampi-jampi. 


Bukan pula kami curiga kepada paramedis yang mati-matian sampai dengan mati benaran berjibaku menyelamatkan pasien corona, karena kami sangat yakin tak ada KONTRAKTOR yang sukarela terima proyek membersihkan gigi buaya, kecuali buaya darat.


Kami hanya tak percaya dengan kebijakan pemimpin negeri ini dalam menghadapi pandemi.


Bayangkan...

Saat virus ini dimulai dari Cina, sampai hari ini "bangsatwan" dari negeri tersebut bebas keluar masuk, bahkan diberi fasilitas istimewa.


Ketika semua negara menutup pelabuhan dan bandara, pemimpin negeri ini malah sibuk promosi pariwisata.


Saat negara lain fokus menyelamatkan nyawa, pemerintah republik ini sibuk menyelamatkan devisa.


WHO telah umumkan antivirusnya belum ada, seharusnya antibodi menjadi tumpuan. Tapi pemerintah secara sistematis menggerus imunitas tubuh dengan pemberitaan korban corona terus menerus. 


Seharusnya ruang ibadah, ruang belajar, ruang kerja, dan ruang sosial menjadi tempat mengecas imun, tapi semua ditutup agar kita fokus menahan serangan virus tanpa tameng tanpa senjata.


Refocusing anggaran di mana-mana, pegawai yang seharusnya kerja, sekarang hanya melamun saja. Proyek yang menyerap tenaga kerja terhenti dan ekonomi pun merana.

Rakyat disubsidi dengan dana desa, warga menumpuk menanti jatahnya.


Kenapa tidak dibuka lahan tani, kebun dan ternak seluas-luasnya, agar masyarakat bisa beraktivitas dan melupakan corona.


Pastikan hasil usaha mereka diserap pasar, atau dibeli oleh pemerintah dengan anggaran corona walaupun untuk "dibuang" semua.


Sekurang-kurangnya, badan mereka sehat karena keringat mengucur, jiwa mereka kuat karena ada harapan yang menggiur.


Biarkan mereka tetap belajar agar masa depan mereka makmur, aktifkan ruang-ruang sosial agar mereka terhibur, dorong mereka beribadat, Kalaupun mati karena corona minimal selamat di dalam kubur.


Kawan-kawan paramedis, kuatlah... kami tidak melawan Anda, kami hanya melawan kebijakan yang salah kaprah, yang setiap hari terus berubah, bukan hanya kebijakan, bahkan termasuk istilah.


Kami pun bingung dengan peraturan-peraturan yang cenderung menyingkirkan akal sehat.

Dimana disatu sisi, diwajibkan pemakaiannya dari jenis apapun tidak dipermasalahkan, yang penting pakai, disangsi jika tidak digunakan, tapi disisi lain, ada klasifikasikasi yang boleh dan jangan dipakai.


Belum lagi peraturan dimana sedang sendiri pun, diwajibkan tetap dipakai. Sementara dari teori yang ada, dia menyebar lewat droplet. Tidak terbang di udara sepertinya halnya virus penyakit lain.


Rakyat yang menghadiri upacara pemakaman dibubarkan dengan alasan berkerumun, padahal sudah memakai protokol, sementara disidang razia masker mereka berkerumun kok tidak dibubarkan juga?

Dan tempo hari, ketika ada elemen rakyat yang berdemo dan dangdutan di pilkada pun tidak dibubarkan.

Jadi mau dibawa kemana arahnya peraturan ini ???

Peraturan suka-suka kah?


Dan..

Mohon dijelaskan, pasien positif corona yang sudah sembuh, sembuh karena obat ataukah sembuh dengan sendirinya...?


Kalau sembuh dengan obat, apa nama obatnya...?


Kalau sembuh dengan sendirinya, untuk apa buang-buang waktu, tenaga, biaya bahkan nyawa...?


Kalau yang meninggal disebabkan karena penyakit penyerta, kenapa sibuk mengurus orang yang tanpa gejala...?


Kalau yang meninggal karena salah diagnosa, bagaimana merevisi datanya...?

Kenapa tidak disampaikan juga...?


Wahai akal sehat pulanglah kembali ke Indonesia, bila tidak pergilah selamanya...Karena saudara kami yang mengalami gangguan jiwa, sampai hari ini baik-baik saja. 


Copas.

Sumber

#Ustad H Masrul Aidi Lc

#Ditambah sedikit untuk melengkapi dari teh Dina A Wulandari

Senin, 07 September 2020

Untuk Apa Menulis Setiap Hari?

 Untuk Apa Menulis Setiap Hari?


Bisa menulis setiap hari merupakan sesuatu yang layak diapresiasi. Karena tidak semua orang bisa konsisten melakukannya. Ada berbagai alasan yang menjadikan seseorang bisa konsisten menulis setiap hari. Ada karena sedang mengikuti tantangan, baik tantangan dari grup menulis atau sekedar menantang diri sendiri untuk menulis.


Namun, menurut saya, menulis setiap hari belumlah tujuan akhir, ia hanya sebagai latihan atau upaya meningkatkan daya literasi. Sebagai sebuah latihan pada umumnya, tingkat keseriusannya akan menentukan tingkat hasil yang dicapai.


Ada penulis yang hanya berpikir, yang penting bisa setor tulisan. Meskipun sekedar tulisan yang dibuat ala kadarnya. Namun ada juga yang serius membuat karya tulis sebaik yang ia bisa. Dua jenis penulis ini, saya yakin, kelak akan memiliki daya literasi yang berbeda.


"Untuk apa menulis setiap hari?"


Merupakan sebuah tanya yang harus dijawab oleh seorang yang hendak melakukan tantangan atau kebiasaan menulis setiap hari. Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan menentukan seperti apa ia akan menjalani dan bagaimana kelak hasilnya.


Kecuali jika kita memang tidak punya harapan apa-apa kecuali memang hanya sekedar ingin menulis setiap hari. Ia bisa saja menulis setiap hari sesukanya saja. Bagi orang jenis ini menulis itu kesenangan saja, atau ada bagi sebagian orang merupakan kebanggaan.


Namun terlepas dari semua itu, menulis sesederhana apapun merupakan sesuatu yang baik dan patut diapresiasi. Karena bagi si penulis, tulisan itu bisa jadi membutuhkan pencarian ide yang melelahkan, setelah ketemu idenya masih harus merangkai kata demi kata, sudah jadi tulisan masih harus mengirimnya, yang terakhir ini bisa jadi akan menguras pikiran, perasaan atau dompet si penulis. 


Saya selalu mengapresiasi setiap orang yang terkait dengan literasi, baik ia penulis maupun pembaca.

*Salam Daya Literasi