Pengikut

Senin, 30 Maret 2020

Tandu

TANDU

Sore harinya, kami membawa Sifa ke puskesmas terdekat dengan rumah. Hanya ada satu-satunya unit pelayanan kesehatan dari pemerintah ada di desa tetangga. Meski begitu, kami harus menempuh jarak yang cukup sulit, apa lagi ditambah dengan kondisi Sifa merasakan sakit di sekitar perutnya. Kami menggotongnya dengan tandu ala kadarnya saja. Tidak ada kendaraan yang dapat kami gunakan untuk mempermudah membawa Sifa selain kain sarung milik suaminya sendiri dengan sebatang bambu sebagai pemikulnya. Kami juga harus bergantian membawa Sifa di pundak kami. Jalan terjal dan berbatu besar tidak menyulutkan semangat kami agar segera ditangani secara medis.

Di puskesmas, kami membaringkan Sifa di ruang emergenci. Kamar yang dicat serba hijau berpadu dengan korden berwana daun muda begitu mencerahkan mata. Kami dapat merasakan dalam dada ada sirkulasi udara yang keluar-masuk sangat leluasa. Delapan kilo perjalanan kami tempuh dengan jalan kaki tidak seperti biasa. Seakan kami dikejar-kejar kuntilanak di siang bolong. Kami pun tidak pernah hirau tapak kaki menginjak benda-benda tajam atau berbahaya.

Sebetulnya ada jalan alternatif dapat ditempuh kurang dari dua jam. Namun untuk bulan November akhir seperti sekarang curah hujan sangat tidak bersahabat. Jalan itu biasanya digenangi air setinggi pinggang. Itu sebabnya kami tetap mengambil jalan nasional. "Bapak harus tabah dengan kondisi dari pasien. Tentu pasien akan terpukul dengan kejadian yang menimpa dirinya. Bapak harus bisa membujuk dan menenangkan pikirannya. Jangan paksa dia mengingat kembali tentang persoalan hari ini dan sebelumnya. Sebisa mungkin, suaminya harus bisa menghiburnya karena perutnya sudah normal kembali seperti semula. Kotoran yang menyumbat saluran dalam perutnya mengakibatkan pembengkakan."

Sumenep, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar