Pengikut

Senin, 30 Maret 2020

Menantu Jebakan

MENANTU JEBAKAN

#pentigraf

Senja menembus malam. Angin kasar pantai menerbangkan khayal-khayal. Suara ibu lembut berubah keras dan tegas. “Kapan kau beri ibu cucu? Jangan biarkan ibu lama menunggu.” Desakan itu begitu kunikmati. Sebenarnya, pada usia matang sepertiku bukan lagi soal berani atau belum. Berkeluarga sudah menjadi kebutuhan. Aku mulai merasakan. Syukur bisnisku bertumbuh cukup pesat. Pilihanku? Meski belum lama mengenal tapi kami makin kompak. Dia mitraku. Yuen. Perempuan sipit ini memikat. Selain tangkas menjalankan bisnis, perhatian dan ketelitiannya, bisa kuandalkan. Keibuannya? Jangan ditanya. Perempuan Asia Timur rata-rata memesona. Lembut, santun, dan rajin.

Bus malam terus melaju. Gemuruh mesin membuat kami tidak banyak bicara. Hanya makin erat tangan saling menggenggam. Ada gelombang lain yang meneteramkan. Juga kehangatan. Selebihnya, kedinginan. Beberapa penumpang memang menyetel AC agak kencang. Ndak enak untuk mengingatkan. Jaket kulit dan topi pet tak sanggup mengusir gigil. Perjalanan jalur utara melewati tengah malam. “Bisa tidur?” tanyaku pelan. Tak menjawab, Yuen cuma mengangkat sedikit kedua pundak lalu menyandarkan kepala di bahu lenganku. Damai. Kuusap beberapa helai ujung rambutnya yang menghambur di pipi. Yuen mulai memejam. Kuyakin, sebenarnya ia tak benar lelap. Melewati jalanan mulus datar hanya sedikit kelok Cikampek-Cirebon-Tegal-Semarang melewati perbukitan Ungaran, Salatiga, dan Boyolali baru menuju kelandaian Solo. Di kota inilah aku dibesarkan, sekolah, dan mengembangkan bakat. Lalu tiga tahun merantau. Kini aku pulang. Membawakan impian ibu. Seorang calon menantu idaman. Seharian ibu tak keluar rumah. Yuen pandai membawa diri. Berdua saja. Aku? Dinas! Ha ha ha. Tetap mengendalikan bisnis.

Menjelang malam. Kami berpamitan. Ibu melepas dengan senyum kebahagiaan. Di teras kami memeluknya bergantian. Berjalan keluar rumah, keluar gang.  Ibu pasti sudah masuk lagi ke dalam rumah. Mulai menghitung hari pernikahan seperti yang kami janjikan. Dan, berkhayal tentang cucu-cucu kesayangan. “Semoga tercapai,” doaku. Sesaat dadaku tersentak. Mataku melotot tajam. Taksi yang kami tumpangi membelok ke halaman kepolisian. Sepasukan siaga menyambut kami dengan moncong senapan. Tak ada perlawanan. Yuen memborgolku. “Bangsat!” teriakku membentur angin petang.

Boyolali, 30 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar