Pengikut

Senin, 30 Maret 2020

POHON BELIMBING

Matahari masih malu, kicau burung sudah mengindahkan telingaku. Entah dari hutan mana, setiap pagi burung liar itu bertamu dan berkicau di pohon belimbingku. Kala pagi yang petang, mataku masih tertutup rapat, otakku berbisik, ayo bangun, sudah pagi, sudah dengar kicau burung kan? Sepertinya kicau burung itu persis seperti kokok ayam yang menyemangati pagi cerah.

Entah bagaimana, ada banyak kupu-kupu di sekitar pohon belimbing di halaman belakang rumahku. Tatkala siang menjemput, aku mendulang anakku di sekitar pohon belimbing itu. Daunnya rimbun, siang yang terik terasa sejuk bersahabat. Mulut anakku penuh makanan, sambil mengunyah, dia jongkok. Tangannya terulur pada kupu-kupu putih yang sedang hinggap di lantai. Dia ingin memegang kupu-kupu putih itu. Sebuah pengalaman baru baginya. Sorot matanya penasaran. Sayap kupu-kupu halus, halus sekali, ada serbuk yang menyatu di sayap itu. Kupu-kupu lain dengan ukuran yang sama terbang ke sana ke mari, riuh rendah menari-nari. Bola mata kami mengikuti gerakan kupu-kupu.

Jika musim panen tiba, aku membagi-bagikan belimbing itu ke tetangga. Mereka tersenyum lebar menyambutnya. Bahkan kataku, "Ayo ke rumahku, ambil sendiri sesukanya." Sementara itu kulkasku terisi sepanci irisan belimbing yang sudah diaduk dengan cabai, gula dan garam. Rasa segarnya adalah nikmat. Sekarang pohon belimbing itu berwarna hitam, kering tanpa daun. Mati karena benalu. Kenangannya masih hidup.


BNA,29032020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar