TABIR
"Corona itu ciptaan Allah, mengapa harus takut? Kalau sudah ditakdirkan
mati, pasti mati. Masjid, gereja, pura dan kelenteng semua menjadi sepi hanya karena rasa takut, padahal seharusnya kita lebih tekun beribadah. Berbuatlah seperti biasa, pasrahkan semuanya kepada Allah," terang Arman, sepupuku berapi-api. Aku tak menyanggahnya, karena tak ingin larut dalam debat kusir. Kutinggalkan diskusi kecil di pos kamling RW karena anak bungsuku sudah merengek minta bobok.
Dua minggu berlalu, santer berita di WAG tentang wabah Corona sudah masuk ke kotaku. Kulihat Arman masih sibuk dengan aktvitasnya sebagai pialang serbaneka. Hingga selepas salat Magrib tadi gawaiku berdering, kuabaikan karena aku sedang mendaras. Tiga menit kemudian kembali berdering dan bersambung dengan kali yang ke tiga. Beberapa lama kemudian terdengar berdenting tanda pesan WA masuk. [Rif, tolong aku pinjam mobil untuk memeriksakan dua anak lelakiku ke dokter, badannya panas demam, aku khawatir terserang Corona. Maaf, sekalian pinjami uang barang sejuta, maklumlah usahaku sedang sepi].
Hampir tengah malam Arman datang mengembalikan mobil. Wajahnya kuyu, ia berucap syukur karena hasil diagnosis dokter ternyata kedua anaknya menderita gejala tifus, bukan Corona sehingga cukup dirawat di rumah dengan pengawasan. Aku ikut prihatin. "Corona, baru beberapa saat keberadaannya telah membuka tabir, siapa masing-masing kita sesungguhnya," gumamku. Kembali kurebahkan tubuh di depan televisi, mengikuti berita perkembangan pandemi Corona.
Pembaringan, 25032020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar