PANDEMI
Dunia sedang berduka. Kabar kematian seperti tamu tak diundang yang kedatangannya tak kuasa dibendung. Ratusan negara terinfeksi. Ribuan jiwa tewas. Jumlah kematian yang besar. Organisasi Kesehatan Dunia sudah menetapkannya sebagai pandemi. Wabah yang menjangkit serempak di mana-mana, meliputi wilayah geografis yang luas. Dunia pun bergerak memerangi penyebarannya yang sangat cepat itu.
Di sudut ruangan, seorang wanita tua bertelut. Ia menundukkan kepalanya dan berdoa. Biarlah yang telah tiada mendapatkan tempat yang layak dalam ketenangan abadi. Semoga, yang masih mengembara, senapas dan seudara dengannya dilindungi oleh Yang Mahakuasa. Kiranya perang melawan endemi yang dinahkodai para medis ini segera berakhir, agar bumi kembali damai dan menjadi tempat yang tenang untuk dihuni. Demikianlah litani pintanya. Ia mengunjukkan permohonan itu agar Tuhan, sang penguasa pandemi itu merenda kuasa-Nya.
Sebulan telah berlalu. Pandemi itu kian merajalela. Kota tempat tinggalnya seperti kota mati. Sunyi, sepi, dan mencekam. Wanita tua itu tinggal nama yang tertulis pada nisannya. Tuhan tentu sudah mendengarkan doa-doanya dan Dia pun telah mengabulkan permohonan wanita renta itu sesuai kehendak-Nya. Seperti apa pun jawaban Tuhan bagi doa-doanya bukanlah yang utama. Wanita tua itu telah melakukan bagiannya dalam memerangi kejahatan pandemi itu. Sebagai biarawati yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya sebagai pendoa, ia memilih jalan sunyi dalam doa-doa yang tak kunjung henti bagi kesembuhan dunia. Ia mengambil jarak dan membatasi kontak, bahkan dengan rekan-rekannya sebiara, agar virus yang ada dalam tubuhnya tidak menyebar. Sebuah kerasulan hidup yang diembannya hingga di akhir hayatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar