Pengikut

Senin, 30 Maret 2020

Kopi pahit

#pentigrafcorona

KOPI PAHIT
Agusanna Ernest

Seekor kucing hitam datang dari ujung jalan berbatu-mulutnya menggigit tikus yang kepalanya telah hilang-menuju arahku.  Sesekali darah masih menetes dari tempat luka kepala yang hilang itu, yang kurasa bisa menjadi penanda jejak darimana perkelahian itu berawal. Perkelahian? Melihat ukuran perbandingan keduanya tak layaklah itu disebut perkelahian.  Lebih tepat disebut perburuan, atau pembantaian, karena jelas itu bukan perkelahian yang imbang. Malam kian menggigit. Kuturunkan ujung sarung yang tadi sempat terbuka di bagian bawah lutut. Sendirian di rumah di tengah malam berkabut pekat ini sungguh menyiksa, karena kami, aku dan seluruh penduduk kampung kini juga tengah merasa diburu. Atau dibantai.

“Wabah ini dari negeri seberang. Datang dalam debu halus yang diembuskan angin, yang bila kau hirup kerongkonganmu serasa terbakar. Paling lama dua pekan kau akan bertahan,” suara yang satu membisik  telinga yang lain, yang seketika menjadi pesan berantai. Awalnya kami tak hirau, tetap saja kami keluar rumah untuk berkebun atau berladang. Tapi ketika korban mulai berjatuhan, kian hari kian banyak, kami mulai ketakutan. Tak ada yang ke luar rumah, karena ke luar rumah berarti menantang maut. Kini kampungku, entah pagi, siang atau petang, apalagi malam hari teramat sunyi. Tak lagi terdengar deru mesin gergaji yang biasa sahut menyahut memisahkan pohon-pohon besar dari akarnya yang biasa terdengar dari hutan ujung desa. Tak lagi terdengar derak tangisan pohon yang  jatuh ke tanah. Memang siapa yang tak menangis bila harus terpisah dari akar? Kini  juga tak ada gumpalan-gumpalan asap pekat yang membubung ke langit karena pabrik yang biasa mengirimnya berhenti operasi. Kabarnya, di kota-kota besar langit menjadi lebih cerah karena tak banyak kendaraan lalu lalang.

Mungkin alam sedang marah, pikirku, sambil kuraih mug isi kopi pahit yang sudah dingin sejak tadi. Wajar saja bila ia marah karena selama ini toh ia begitu sabar diperkosa begitu rupa, pikiranku makin liar. Kopi pahit yang yang kusesap selalu saja meninggalkan jejak rasa manis di ujung lidah di setiap penghabisan. Ah, alam bukan sedang marah. Alam itu lemahlembut karena ia pemberian Sang Maha Lemahlembut. Ia hanya sedang berusaha mengembalikan keseimbangan setelah sekian lama kita merusaknya, pikirku lagi, entah datang darimana. Malam kian sunyi.

***

Condet, 26 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar